Selasa, 23 Desember 2008

Sosiologi

ORGANISASI SOSIAL
TUGAS KELOMPOK
Tugas Mata Kuliah : Pendalaman Bidang Studi Sosiologi
Dosen Pengampu : Drs. H. Maryadi, M.A.

OLEH :
KELOMPOK II
HARI BUDIYANTO
HJ. SUNDARI
LALU EKAN SATRIA ATMAJA
MARDAWIAH
MUHAMMAD YAKUB
MULIYADI

PENDIDIKAN PROFESI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2008


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul “ORGANISASI SOSIAL”. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan mata kuliah Pendalaman Bidang Studi Sosiologi pada program Pendidikan Profesi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sesuai dengan judul, makalah ini mengulas tentang bagaimana pendekatan sosiologi terhadap kelompok sosial, bagimana tipe-tipe keompok sosial, bagaimana kelompok-kelompok sosial yang tidak teratur, dan bagaimana kelompok (mayarakat setempat, masyarakat desa, masyarakat perkotaan dan masyarakat kecil).
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Drs. Maryadi M,Si dan selaku dosen Pengampu mata kuliah Pendalaman Bidang studi Sosiologi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan, oleh sebab itu kami akan sangat bertetima kasih sekirahnya mendapatkan masukan-masukan untuk penyempurnaannya, terutama kami sangat berharap sumbang saran dari Bapak/Ibu pengampu mata kuliah ini. Atas masukan-masukannya kami ucapkan terima kasih.

Surakarta, 5 November 2008
Penulis

Kelompok II


DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................. i
Daftar Isi .......................................................................................... ii
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 2
C. Tujuan Penulisan . ......................................................... 2
Bab II. PEMBAHASAN
A. Pendekatan Sosiologi terhadap Kelompok sosial ……. 4
B. Tipe-tipe Kelompok Masyarakat..………………….… 5
C. Kelompok-kelompok Sosial yang tidak Teratur .……. 7
D. Kelompok Masyarakat Setempat, Pedesaan, Perkotaan
Dan Masyarakat Setempat ....................................... 9

Bab III. PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 14
B. Saran ............................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia pada umumnya dilahirkan seorang diri, namun dalam kehidupannya harus berkelompok atau bermasyarakat. Manusia tidak dapat berdiri sendiri namun tergantung pada orang lain. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Dalam hubungannya dengan manusia lain manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan orang lain, karena manusia mempunyai naluri untuk selalu hidup dengan orang lain (gregariausness).
Manusia menurut kodratnya itu dilahirkan untuk menjadi bagian dari suatu kebulatan masyarakat. Dengan demikian manusia itu merupakan bagian dari suatu organisi sosial. Perhatikanlah kehidupan sehari-hari. Hampir semua kegiatan manusia dilakukan dalam kaitannya dengan orang lain dan daam kehidupan bersama dengan manusia lainnya.
Landasan dari adanya hasrat untuk selalu berada dalam kesatuan dengan orang lain adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan yang mendasar dan kebutuhan sosial maupun kebutuhan intergratif. Oleh karena manusia memiliki kebutuhan yang beraneka ragam, dan cara-cara yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan itupun bermacam-macam pula, maka manusia menentukan bentuk kehidupan sosial tertentu di tempat ia hidup dengan sebaik-baiknya.
Organisasi sosial manusia mewujudkan diri dalam bentuk kelompok sosial. Di dalam hubungannya antara manusia dengan manusia lain, agaknya yang paling penting adalah reaksi yang timbul akibat hubungan-hubungan timbal balik antara sesama manusia. Reaksi tersebut menyebabkan tindakan seseorang menjadi bertambah luas.
Manusia sejak dilahirkan sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu; 1) Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya yaitu masyarakat dan 2) Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut di atas, manusia menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Organisasi sosial atau social organization di dalam kehidupan manusia ini, merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi dan juga uatu pertanyaan, apakah setiap himpunan manusia dapat dinamakan kelompok sosial? Untuk itu, diperlukan beberapa persyaratan tertentu, antara lain; 1) adanya kesadaran pada setiap anggota kelompok bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan, 2) adanya hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lain, 3) adanya faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antara mereka bertambah erat, yang dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi yang sama, 4) berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku, 5) bersistem dan berproses.
Organisasi sosial adalah dimana terdapat suatu struktur organisasi dan suatu faktor, yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok-kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor-faktor itu yang terdiri dari dimana merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, ideologi yang sama, politik yang sama. Hal ini merupakan ikatan yang bersifat pokok untuk jangka waktu tertentu.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan organisasi sosial?
2. Apa sajakah unsur-unsur dalam organisasi sosial sebagai suatu asosiasi?
3. Apa sajakah jenis-jenis organisasi social sebagai suatu asosiasi?

C. RUANG LINGKUP MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka batasan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Pengertian organisasi sosial
2. Unsur-unsur organisasi social sebagai suatu asosiasi
3. Jenis-jenis organisasi sosial sebagai suatu asosiasi
4. Tipe-tipe organisasi social
5. Organisasi social masyarakat

D. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian organisasi sosial .
2. Untuk mengetahui unsure-unsur organisasi sosial sebagai suatu asosiasi
3. Untuk mengetahui jenis-jenis organisasi social sebagai suatu asosiasi
4. Untuk mengetahui tipe-tipe organisasi social
5. Untuk mengetahui organisasi social masyarakat


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ORGANISASI SOSIAL
Secara garis besar pengertian organisasi social dikelompokkan ke dalam 2 pendekatan disiplin ilmu, antara lain:
A. Pendekatan Antropologi Sosial, diantaranya dikemukakan oleh:
1. WHR Rivers (dalam Harsojo, 1977: 243) mengemukakan bahwa organisasi social adalah suatu proses yang menyebabkan individu disosialisasikan dalam kelompok. Ruang lingkup penyelidikan tentang organisasi social meliputi struktur dan fungsi dari suatu kelompok social.
2. Raymond Firth (dalam Harsojo, 244) dalam bukunya Element of Social Organization menyatakan bahwa yang dimaksud organisasi adalah suatu proses social dan pengaturan aksi berturut-turut menyesuaikan diri dengan tujuan yang dipilih. Organisasi sosial adalah penyusunan dari hubungan/interaksi sosial yang dilakukan dengan jalan pemilihan dan penetapan.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka studi tentang organisasi sosial dalam antropologi sosial secara garis besar meliputi:
a. Penyelidikan organisasi sosial dengan menggunakan metode biografi, yaitu penyelidikan yang meneliti kejadian-kejadian khusus yang berhubungan dengan krisis-krisis kehidupan (rites of passage). Dalam pendekatan ini umur dalam arti bahwa jangka waktu hidup manusia itu mengikuti siklus biologi tertentu merupakan faktor yang menjadi landasan penyusunan organisasi sosial.
b. Penyelidikan organisasi social dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada hubungan antar individu dengan memakai metode genealogis. Dengan mempelajari hubungan antar individu yang khusus disebabkan kekerabatan, yang kemudian dapat dikembangkan pada studi tentang pola-pola social yang lebih besar. Dalam studi mengenai organisasi social seperti ini dapat diteliti tentang konsep perkawinan, keluarga dan system kekerabatan.
c. Penyelidikan organisasi social dengan menggunakan pendekatan yang perpusat pada lembaga-lembaga, sejauh manakah lapisan-lapisan social seperti kelas, kasta, rank dan bagaimana kepemimpinan dalam suatu masyarakat.

B. Pendekatan Sosiologi, diantaranya dikemukakan oleh:
1. Alvin L. Bertrand (1980: 25) mengemukakan pengertian organisasi social dalam arti luas adalah tingkah laku manusia yang berpola kompleks serta luas ruang lingkupnya di dalam setiap masyarakat. Organisasi social dalam arti khusus adalah tingkah laku dari para pelaku di dalam sub-sub unit masyarakat misalnya keluarga, bisnis dan sekolah.
2. Robin Williams (dalam Bertrand: 26) mengemukakan bahwa organisasi social menunjuk pada tindakan manusia yang saling memperhitungkan dalam arti saling ketergantungan. Ia selanjutnya menjelaskan bahwa pada saat individu melakukan interaksi berlangsung terus dalam jangka waktu tertentu, maka akan timbul pola-pola tingkah laku.
3. JBAF Maijor Polak (1985: 254) mengemukakan bahwa organisasi social dalam arti sebagai sebuah asosiasi adalah sekelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu, kepentingan tertentu, menyelenggarakan kegemaran tertentu atau minat-minat tertentu.
4. Soerjono Soekanto (1988: 107-108) mengemukakan organisasi social adalah kesatuan-kesatuan hidup atas dasar kepentingan yang sama dengan organisasi yang tetap sebagai sebuah asosiasi.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa organisasi social berdasarkan pendekatan sosiologi adalah organisasi social sebagai sebuah asosiasi, yaitu sekelompok manusia yang mempunyai tujuan, kepentingan, kegemaran, minat yang sama dan membentuk sebuah organisasi yang tetap.
Semua manusia pada awalnya merupakan anggota kelompok sosial yang dinamakan keluarga . Walaupun anggota-anggota keluarga tadi selalu menyebar, pada waktu-waktu tertentu mereka pasti akan berkumpul. Suatu kelompok sosial cenderung untuk tidak menjadi kelompoknyang statis, tetapi selalu berkembang serta mengalami perubahan-perubahan, baik dalam aktivitas maupun bentuknya.
Suatu aspek yang menarik dari kelompok sosial tersebut adalah bagaimana caranya mengendalikan anggota-anggotanya. Para sosiolog akan tertarik oleh cara-cara kelompok sosial tersebut dalam mengatur tindakan-tindakan anggota-anggotanya agar tercapai tata tertib didalam kelompok. Hal ini yang agaknya penting adalah bahwa kelompok tersebut merupakan tempat kekuatan-kekuatan sosial berhubungan, berkembang, mengalami disorganisasi, memegan peranan, dan selanjutnya.
Manusia mempunyai naluri untuk senantiasa berhubungan dengan sesamanya. Hubungan yang berkesinambungan tersebut menghasilkan pola pergaulan yang dinamakan pola interaksi sosial. Pergaulan tersebut menghasilkan pandangan-pandangan mengenai kebaikan dan keburukan. Pandangan-pandangan tersebut merupakan nilai-nilai manusia, yang kemudian sangat berpengaruh terhadap cara dan pola berpikirnya.
Pola berpikir tertentu yang dianut seseorang akan mempengaruhi sikapnya. Sikap tersebut merupakan kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda atau keadaan. Seseorang yang pola berpikirnya materialistik, misalnya mempunyai sikap tertentu terhadap pekerjaan tertentu. Maka dia akan memperhatikan pekerjaan yang menghasilkan materi yang banyak dan kurang memperhatikan kepuasan batiniah dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. Sikap tersebut lazimnya membentuk perilaku tertentu, yang kemudian menjadikan pola perilaku berkesinambungan. Sikap materialistik, umpamanya, akan membentuk perilaku yang cenderung materialistik pula. Kalau pola perilaku tertentu sudah melembaga dan membudaya, gejala itu menjadi patokan perilaku yang pantas. Patokan perilaku yang pantas tersebut biasanya disebut norma atau kaidah. Perangkat kaidah-kaidah tertentu yang terdiri kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum, kemudia menjadi patokan dalam interaksi sosial.
B. UNSUR-UNSUR ORGANISASI SOSIAL.
Organisasi social sebagai suatu asosiasi mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. sekelompok orang yang mempunyai tujuan tertentu, kepentingan tertentu, kegemaran tertentu atau minat-minat tertentu
2. adanya norma atau aturan-aturan tertentu yang mengikat hubungan atrar individu
3. adanya kesadaran individu sebagai anggota organisasi social
4. bentuk organisasinya formal atau non formal

C. JENIS-JENIS ORGANISASI SOSIAL.
Jenis-jenis organisasi social sebagai berikut:
1. Menurut Soerjono Soekanto (107-108) organisasi social sebagai suatu asosiasi mempunyai dua arti, yaitu:
a) dalam arti khusus/sempit mempunyai cirri-ciri antara lain:
a. adanya kepentingan-kepentingan terbatas
b. organisasi social tertentu
c. jumlah keanggotaan sangat terbatas
d. pentingnya huungan tidak bersifat pribadi
e. jenis kepentingan yang dikejar terbatas
Contoh: keluarga, kelompok permainan, club
b) dalam arti luas/besar mampunyai ciri-ciri antara lain:
a. adanya anggota yang secara relative terbatas
b. organisasi social yang formal
c. pentingnya hubungan social tidak bersifat pribadi
d. jenis kepentingan yang dikejar lebih luas
Contoh: Negara, persekutuan agama, perkumpulan ekonomi, persatuan buruh, organisasi massa, dsb
2. Menurut JBAF Maijor Polak (262-263) membagi organisasi social ke dalam beberapa bidang dan jenis asosiasi, antara lain:
a) Persahabatan, misalnya club (Club Jantung Sehat Indonesia), kelompok sahaba/ikatan persaudaraan (IPHI)
b) Ekonomis, misalnya perseroan (Perseroan Terbatas), firma (CV), perkumpulan pengusaha (Ikadin, HIPMI), serikat sekerja (SPSI, SBSI)
c) Teknologi dan ilmu pengetahuan, misalnya badan ilmiah (Batan, LIPI), balai penyelidikan (balitbang), ikatan sarjana (ISPI, ISEI, MSI)
d) Agama, misalnya mahsab (Thariqot Naqsaandiyah, Wahidiyah, NU, Muhammadiyah, LDII, Hizbuth Thahrir), jamaah (PGI, Walubi, MUI, Hindu Dharma)
e) Kesenian, mislalnya orkes atau grup band (Soneta, Peterpen, ST 12, Ada Band, Nashid, Qosidah), penari/penyanyi, ikatan seniman, artis (Parsi, Parfi)
f) Pendidikan, misalnya sekolah (TK/RA, SD/MI, SMP/Mts, SMA/MA), Universitas/Sekolah Tinggi, Ikatan Pelajar/alumni, yayasan pendidikan, dsb
g) Olah raga, misalnya berbagai perkumpulan olah raga (ISSi, PBSI, PBVSI, PABSI, PASI, IMI),dsb
h) Politik, misalnya partai politik (PKB, PAN, Golkar, PD, PDI Perjuangan, dsb)
i) Kesenangan/hobi, misalnya perkumpulan penggemar perangko (filateli)
j) Amal, misalnya perkumpulan penyokong fakir miskin (BAZIS, Pundi Amal SCTV), perhimpunan penyokong orang tua/panti jompo, perhimpunan penyokong yatim piatu/PAY, dsb
k) Profesi, misalnya PGRI, IDI, IDAI, PGTKI, Ikadin, dsb
l) Pemerintahan, Negara, Pemerintah Daerah I dan II, Kecamatan, Desa
m) Organisasi regiolal, misalnya ASEAN, MEE
n) Organisasi internasional, misalnya PBB (beserta lembaga/badan-badan di bawahnya)
o) Organisasi militer/pakta pertahanan, misalnya NATO, ANZUS, SEATO, Pakta Warsawa, dsb

D. TIPE-TIPE ORGANISASI SOSIAL
Tipe-tipe Oragnisasi atau kelompok sosial dapat diklasifikasikan dari beberapa, sudut atau atas dasar berbagai kriteria atau ukuran. Seorang sosiolog Jerman Georg Simmel, mengambil ukuran besar-kecilnya jumlah anggota kelompok, bagaimana individu mempengaruhi kelompoknya serta intraksi sosial dalam kelompok tersebut. Dalam analisisnya mengenai kelompok sosial mulai dengan bentuk terkecil yang terdiri satu orang sebagai fokus hubungan sosial yang kemudian dikembangkan dengan kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang dan kemudian dikembangkan dengan kelompok yang lebih besar.
Ukuran lain yang diambil adalah atas dasar derajat interaksi sosial dalam kelompok sosial. Beberapa sosiolog memerhatikan pembagian atas dasar kelompok dimana anggotanya saling mengenal (face-to-face groupings), seperti keluarga, rukun tetangga dan desa, dengan kelompok-kelompok sosial seperti kota, dan negara, dimana anggotanya tidak mempunyai hubungan erat.
Berlangsungnya suatu kepentingan merupakan ukuran lain bagi klasifikasi tipe-tipe sosial. Suatu kerumunan misalnya, merupakan kelompok yang hidupnya sebentar saja karena kepentingannyapun tidak berlangsung lama. Lain halnya dengan kelas atau komuniti yang kepentingan secara relatif bersifat tetap atau permanen. Dasar yang akan diambil sebagai salah satu alternatif untuk mengadakan klasifikasi tipe-tipe kelompok sosial adalah ukuran jumlah atau derajat interaksi sosial atau kepentingan kelompok atau organisasi.
Dalam membicarakan kelompok sosial, haruslah dihindari paham prasangka bahwa kelompok sosial merupakan lawan individu, kedua hanya dapat dimengerti bila dipelajari di dalam hubungan antara yang satu dengan yang lain sebagai pasangan. Pengertian tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya pendapat yang menyatakan bahwa bentuk kelompok sosial merupakan ancaman terhadap kesejahteraan individu. kan bahwa bentuk kelompok sosial merupakan ancaman terhadap kesejahteraan individu. Harus dihindari prasangkah bahwa kelompok-kelompok sosial semata-mata ditimbulkan oleh naluri manusia untuk selalu hidup sesama. Kelompok sosial ini merupakan bentuk kehidupan nyata. ePrilaku kelompok sosial harus dilihat dari sudut pandang sebagai prilaku individu.
Faktor-faktor yang membedakan kelompok-kelompok adalah:
1. Kesadaran akan jenis yang sama.
2. Adanya hubungan sosial
3. Orientasi pada tujuan yang sudah ditentukan.
Di dalam pembahasan tipe-tipe kelompok sosial dapat dikategorikan dalam struktur sosial seperti: 1) kelompok sosial dipandang dari sudut individu, 2) in-group dan out-group, 3) kelompok primer (primary group) dan kelompok skunder (secondary group), 4) Paguyuban dan patembayan, 5) formal group dan informal group, 6) membership group dan reference group 7) kelompok okupasional dan volunter dan, 8) kelompok okupasional dan volunter.

E. ORGANISAS SOSIAL MASYARAKAT
Organisasi sosial masyarakat adalah dimana terdapat suatu struktur organisasi dan suatu faktor, yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok-kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor-faktor itu yang terdiri dari dimana merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, ideologi yang sama, politik yang sama. Hal ini merupakan ikatan yang bersifat pokok uantuk jangka waktu tertentu.
Manusia harus berhubungan dengan manusia lain dalam kondisi emosional dan psychis dimana amat dipengaruhi oleh relasi sosial. Dengan kata lain seseorang itu pada satu ketika menjadi susah atau bergembira dan riang hatinya, disebabkan oleh pengaruh sikap penilaian, anggapan-anggapan yang diterima oleh orang lain. Dari sinilah jelas bahwa bagi kesejahteraan badan dan rohaniahnya, manusia bersama-sama harus menciptakan satu kondisi sosial yang harmonis.
Kodrat alamiah manusia sebagai makhluk sosial-psychis itu menyebabkan timbulnya bentuk-bentuk dari organisasi dan relasi antara manusia, yang terdiri dari dua landasan yaitu;
1. Organisasi symbiotik yang terdiri semata-mata atas tingkah laku fisik yang bersifat otomatis.
2. Organisasi sosial yang berdiri atas komunikasi dengan menggunakan sistem lambang.
Kontak dengan menggunakan sistem lambang menimbulkan interaksi sosial yang berlaku pada dataran pancaindera, emosi dan intelektual. Apabila kita berbicara tentang organisasi sosial, maka yang dimaksud ialah, bahwa untuk mencapai tujuannya timbul kelompok sosial dari usaha tersebut. Dengan perkataan lain, organisasi sosial mempunyai aspek fungsi dan aspek struktur. Dalam aspek fungsionalnya organisasi sosial itu memperhatikan manifestasinya dalam aktivitas kolektif dari manusia untuk mencapai tujuannya, yaitu dari memelihara, mendidik sampai kepada melakukan peperangan. Dan dari akivitas kolektif itu timbul kelompok-kelompok yang menjalankan aktivitas seperti keluarga, negara dan organisis sosial lainnya. Secara keseluruhan maka organisasi sosial dilihat dari sudut implikasi strukturalnya meliputi struktur dari kelompok sosial, pola umum baru kebudayaan manusia pada setiap waktu dan tempat dan seluruh frame work dari pada pranata-pranata sosial. Organisasi sosial pada dasarnya adalah produksi dari pada kodrat manusia.
Selanjutnya apabila kita pelajari kehidupan sosial manusia, maka tampak adanya kenyataan yang tidak dapat diingkari.
a) Bahwa manusia individu atau kelompok berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mendapatkan jaminan keamanan dan jika mungkin mencapai satu tingkat kemakmuran yang diingingkan.
b) Bahwa untuk mendapatkan kondisi yang esensial bagi kelangsungan hidup dan keamanan, diperlukan adanya ketertiban sosial dalam derajat yang tinggi.
c) Bahwa untuk mencapai derajat ketertiban sosial yang tinggi itu diperlukan adanya satu tata pengaturan sosial kultur serta mekanisme yang dapat digunakan bagi pelaksanaan pengaturan itu.
Adapun pengaturan dari pada tata-hubungan jika ada dua orang atau lebih yang hendak mengadakan hidup bersama memerlukan beberapa syarat yaitu; (1) Harus ada ukuran yang tetap dalam tata hubungan sosial yang dapat diterima oleh anggota-anggota kelompok, (2) Harus ada kekuasaan atau otoritas yang mempunyai kekuasaan memaksa dalam melaksanakan tata-hubungan sosial, (3) Adanya pengaturan dan penyusunan individu-individu dalam kelompok-kelompok dan lapisan sosial tertentu yang mengambarkan adanya koordinasi dan subkordinasi, (4) Anggota-anggota yang hidup dalam berbagai bidang, dapat hidup dalam suasana harmoni, yang saling memberi kekuasaan, (5) Adanya tingkah laku yang merupakan standar dan telah disalurkan atau dipaksakan dengan mekanisme tekanan-tekanan sosial, yang menjadi satu pola yang merupakan pedoman bagi tingkah laku manusia.
Organisasi sosial yang meliputi lembaga-lembaga yang menetapkan posisi dari laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Kategori ini terbagi dalam dua kelas lembaga yang timbul dari kekerabatan, badan lembaga-lembaga yang timbul dari kekerabatan, badan lembaga yang berkembang dari asosiasi bebas di antara individu-individu. Struktur kekerabatan meliputi keluarga dan pengembangannya sampai kelompok-kelompok. Asosiasi bebas yang tidak dibangun atas dasar kekerabatan sex dan umur dan dalam arti yang lebih luas. Struktur sosial itu juga meliputi relasi sosial yang mempunyai karakter politik berdasarkan atas daerah tempat tinggal dan status.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Seorang sosiolog didalam menelaah masyarakat manusia akan banyak berhubungan dengan organisasi sosial,
2. Tipe-tipe organisasi sosial dapat diklasifikasikan dari beberapa, sudut atau atas dasar berbagai kriteria atau ukuran. tipe-tipe kelompok sosial dapat dikategorikan dalam struktur sosial seperti: 1) organisasi sosial dipandang dari sudut individu, 2) in-group dan out-group, 3) kelompok primer (primary group) dan kelompok skunder (secondary group), 4) Paguyuban dan patembayan, 5) formal group dan informal group, 6) membership group dan reference group 7) kelompok okupasional dan volunter dan, 8) kelompok okupasional dan volunter.

B. SARAN
Diharapkan dengan selesainya makalah ini merupakan suatu sumber informasi dan kajian masalah kajian sosiologi dan khususnya masalah organisasi sosial dan kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, Drs. 1989. Pengantar Sosiologi. Solo. Rhamadani Edisi Revisi.
Bertrad, Alvin L. Sosiologi. Surabaya. Pt. Bina Ilmu. 1980.
Faisal, Sanapiah, Drs. Kerangka Acuan, Metode Penelitian, Teori- teori tentang Sosialisasi Kepribadian dan Kebudayaan. Surabaya. Pt. Bina Ilmu. 1990.
Harsojo, Prof. Drs. 1977. Pengantar Antropologi. Bina Cipta. Jakarta
Polak, JBAF Maijor, Drs. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. PT
Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta
Shanti Citta: Manusia Modern dalam kehidupan Spritual. http://www.geogle.com.id. Artikel. Diakses 18 oktober 2008.

Soekanto, Soerjono. Sosialogi Suatu Pengantar. Jakarta. PT. Rajagrafindo
Persada. 2006.
Suyanto. Profil Lembaga Sosial Dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan
Sosial Melalui Sistem Jaminan Sosial Berbasiskan
Komunitas Lokal http://www.geogle.com.id. Makalah . Diakses
18 oktober 2008.
Sunarta, Drs. Sosiologi dan Antropologi. Bandung. Epsilon Grup Bandung. 1987.

Jumat, 19 Desember 2008

Islam Dalam Tinjauan Madilog

Islam dalam Tinjauan Madilog

Tan Malaka (1948)


Sumber: Penerbit Widjaja, Jakarta 1951

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Feb 2008)


KATA PEMBUKA

Telah lebih dari setahun lamanya kopi ini tesimpan dalam almari, karena terhalang oleh kesukaran kertas, apalagi mengingat tebalnya lebih kurang 200 halaman dari kertas ukuran besar serta ditek dengan mesin tulis Hermes baby, dan kalau dijadikan buku menurut ukuran yang sekarang ini, mungkin mencapai 500 halaman, sedang niat hendak menerbitkan sekaligus.

Nasehat tuan HAJI ILJAS JACOB-lah yang membuka perhatian untuk menerbitkan dengan jalan beransur-ansur ini.

MADILOG, berasal dan melalui jembatan keledai, yaitu MA terialisme, DI alektika, LOG-ika !

"Saya tidak menyangka akan sampai begitu dalam dan luas pengetahuan TAN MALAKA, sehingga saya sebagai Jurist dipimpinnya pula ke lapangan filsafat hukum, lebih berisi dan lanjut dari pada yang saya pelajari di sekolah hakim", demikian ucapnya seorang Akademisi yang jujur setelah membaca kopi Madilog !

Penerbitan ini akan diusahakan supaya tiap tanggal 2 dan 17 setiap bulan buku setebal ini akan mengunjungi pembacanya. Moga-moga kami dapat memenuhi niat yang suci ini.

P E N E R B I T

Bukit Tinggi 17 Juli 1948

I s l a m

Sumber yang saya peroleh buat Agama Islam, inilah yang hidup. Seperti saya sudah lintaskan lebih dahulu dalam buku ini, saya lahir dalam keluarga Islam yang taat. Pada ketika sejarahnya Islam buat bangsa Indonesia masih boleh dikatakan pagi, diantara keluarga tadi sudah lahir seorang Alim Ulama, yang sampai sekarang dianggap keramat! Ibu Bapa saya keduanya taat dan orang takut kepada Allah dan jalankan sabda Nabi.

Saya saksikan ibu saya sakit menentang malaikat maut menyebut "Djuz Yasin" berkali-kali dan sebagian besar dari AL-Qur’an, diluar kepala. Orang kabarkan bapak saya didapati pingsan setelah badannya dalam air. Dia mau menjawat air sembahyang, sedang menjalankan terikat, setelah bangun sadar, dia bilang dia berjumpa dengan saya yang pada waktu itu di negeri Belanda. Masih kecil sekali saya sudah bisa tafsirkan Al-Qur’an, dan dijadikan guru muda. Sang Ibu menceritakan Adam dan Hawa dan Nabi Yusuf. Tiada acap diceritakannya pemuka, piatu Muhammad bin Abdullah, entah karena apa, mata saya terus basah mendengarnya. Bahasa Arab terus sampai sekarang saya anggap sempurna, kaya, merdu jitu dan mulia.

Pengaruhnya pada bahasa Indonesia pada zaman lampau bukan sedikit. Cangkokan bahasa Arab pada bahasa Indonesia baik diteruskan, karena lebih cocok pada lidah kita, asal betul-betul mengadakan pengertian baru, yang tiada terbentuk pada kata Indonesia umum atau lokal, seperti perkataan akal, fikir dsb. Saya sendiri tiada sempat meneruskan pelajaran bahasa Arab yang saya pelajari berpuluh tahun yang silam dengan cara surau yang sederhana itu tentulah sekarang sudah melayang sama sekali. Tetapi semua perhubungan dengan Islam dan Arab dahulu di Eropa, pasti mengambil perhatian saya. Dengan mengikat pinggang lebih erat, saya ketika di Negeri Belanda membeli sejarah dunia berjilid-jilid salinan bahasa Jerman ke Belanda, karena di dalamnya ada sejarah Islam dan Arab dituliskan degan lebih sempurna dari yang sudah-sudah.

Meskipun banjir ombak asik dalam senubari saja di masa usia pancaroba dilondong hanyutkan sampai sekarang terus dihilirkan oleh kejadian "1917" perhatian saya tehadap Islam terus berjalan. Pengertian yang masih saya ingat dari tafsir Qur’an itu, tentulah tiada berarti lagi. Yang tinggal dibawah lantai kesadaran (subconciousness) ialah kesan semata-mata. Tetapi terjemahan Qur’an ke dalam bahasa Belanda dahulu beberapa kali saya tamatkan, semua buku dan diktatnya Almarhum Snouck Hurgroaje tentang Islam sudah saya baca. Baru ini di Singapura saya baca lagi terjemahan Islam ke bahasa Inggris oleh "Sales dan ahli timur Maulana Ali Almarhum".

Dengan begitu tiadalah pula saya maksudkan bahwa semua sumber itu sudah cukup buat me-obor Islam dan sejarah. Ahli sejarah Barat, Arab dan Tionghoa memang berlipat ganda lebih bisa dipercayai dari pada Ahli sejarah Hindu. Begitulah sejarah masyarakat dengan kemajuan pesawat dan ekonominya dibelakangkan kalau tiada dilupakan sama sekali. Jangan pula dilupakan, bahwa sejarah politik yang semacam itu di-tinggal-kan; tiada berseluk-beluk dan dipelantunkan dengan sejarah politik, ekonomi, dan kelasnya masyarakat. Jadi sejarah semacam itu, walaupun sejarah politik saja adalah pincang sekali.

Tiada mengherankan kalau dalam pembacaan, saya tiada mendapati sejarah yang teratur selangkah demi selangkah, tentangan masyarakat, politik, ekonomi, dan tehnik Arab, tidak saja sebelum dan ketika Muhammad SAW mengembangkan Agama Islam, tetapi juga di dalam tempo dibelakangnya, lebih dari 1300 tahun sampai sekarang. Tidak saja di tanah Arab tempat asalnya agama Islam dan negara berkelilingnya, tetapi juga ditempat mengembangnya seperti Siria, Mesir, Spanyol, Irak, Iran, (Mesopotamia), India dan Indonesia. Dalam Negara asalnya Agama Islam tumbuh dan berdahan, mendapat bentuk dan corak baru dan bentuk corak ini tentulah langsung atau menukar mempengaruhi pokok asalnya di Arabia. Teristimewa pula karena semua bangsa dari semua agama acap berkumpul di Mekah.

Sejarah Islam berurat dan diairi oleh masyarakat politik, ekonomi dan pesawat Arab asli dan akhirnya bertukar bentuk dan corak pada iklim keadaan baru di luar daerah asli, menurut pengetahuan saya masih belum ditulis. Pekerjaan semacam itu bukanlah pekerjaan sembarang ahli, boleh jadi sekali bukan pekerjaan seorang ahli yang tersambil, melainkan pekerjaan beberapa ahli yang bergabung dalam tempo yang lama, boleh jadi pula bukti yang berhubungan dengan beberapa perkara sama sekali tiada bisa diperoleh lagi. Bagaimana juga buku seperti Foundation of Christianity buat Islam masih belum lahir.

Berhubung dengan keterangan diatas maka sejarah-Islam dalam lebih kurang 1200 tahun sesudahnya Muhammad SAW yakni sejarah yang condong pada politik seperti pengangkatan Imam baru, menurut dan menurutkan partai Ali atau meneruskan pilihan yang demokratis seperti pengangkatan Abubakar, Umar, dan Usma; perbedaan mazhabnya Imam Syafi’I, Hanafi, Hambali dan Maliki satu aliran Islam ke arah kegaiban (systisisme) pada satu fatihah (Imam Gazali) dan kenyataan (rationalisme), sampai ketiadaannya Tuhan-Tuhan (atheisme), pada lain pihak (moetazaliten); pergerakan Islam yang baru kita kenal sekarang seperti Wahabi, Muhammadiya dan Ahmadiyah; semuanya ini mesti diseluk dengan sejarahnya politik, ekonomi, seperti bumi dan pesawat masyarakat Muslimin di Eropa Selatan, Afrika, Asia Barat dan Tengah diluar maksudnya buku ini dan diluar kekuasaan kesempatan saya.

Maksud tulisan saya yang ringkas ini tentulah bukan buat pengganti buku yang masih ditulis itu, maksudnya cuma buat petunjuk (suggestion). Saya bagaimana juga tak lebih berlaku dari pada itu karena kekurangan bahan bukti, lagi pula pokok perkara yang berhubungan dengan Islam, ialah ke Esaan Tuhan, sudah termasuk boleh dikatakan hampir sama sekali pada tulisan yang baru lalu.

Muhamad SAW mengakui sahnya kitab Yahudi dan Kristen. Muhammad SAW mengakui Tuhannya Nabi Ibrahim dan Musa. Tetapi Tuhannya Nabi Ibrahim dan Musa menurut Muhammad SAW itu mesti dibersihkan dari pemalsuan Yahudi dan Kristen dibelakang hari.

Memang masyarakat Arab asli membutuhkan ke-Esaan pemimpin sekurang-kurangnya sama dengan kebutuhan yang dirasa oleh Nabi Musa dan daud. Pada Muhammad SAW, bangsa Arab yang terdiri dari beberapa suku, dan menyembah bermacam-macam berhala itu mengharapkan pimpinan. Peperangan saudara yang kejam keji tiada putus-putusnya berlaku. Bangsa Arab teguh tegap, berdarah panas, pada negara yang sebagian besar terdiri dari gurun pasir dan gunung batu, kurus kering, sejuk tajam di musim dingin, panas terik di musim panas, susah gelisah mengadakan nafkah hidup sehari-hari. Perampokan dan pembunuhan adalah pekerjaan lazim sekali. Perniagaan ke lain negara dan dalam negarapun mesti dikawal dengan prajurit yang siap sedia menentang musuh ialah penyamun Badui yang rakus garang. Saudagar pada masa itu sama juga dengan serdadu, makin ramai penduduk Arab dan memang sudah ramai, makin sengit seru pertarungan suku dan suku. Makin banyak lelaki yang mati makin banyak pula kelebihan perempuan. Tiada mengherankan kalau mendapat anak perempuan dianggap sebagai malapetaka oleh rumah tangga Arab asli itu, apa lagi rumah tangga yang tak berpunya. Perempuan sudah terlampau banyak dan perempuan pada masyarakat semacam itu bukanlah makhluk yang bisa mencari nafkah diluar rumah tangga, melainkan dianggap satu makhluk penambah mulut makan. Jadi penambah kemiskinan. Kalau perempuan banyak, dibunuh. Beruntunglah perempuan kalau ada lelaki yang mampu mengawininya mengangkat dia jadi isteri yang ketiga ataupun kesekian puluh. Ditengah masyarkat semacam itu lahirlah Muhammad bin Abdullah, walaupun sukunya suku kuraisy dianggap suku tertinggi di kota Mekkah, tiadalah ia seorang anak yang dimanjakan oleh ibu bapa yang mampu. Dia malang atau memang beruntung kematian ibu bapa menjadi anak piatu dan dipelihara oleh paman Abdul Mutalib. Dari kecil sudah mengenal susah melarat di tengah-tengah masyarakat saling sengketa dan gelap gelita. Buah pikiran kita menyaksikan masyarakat semacam itu dan dalam keadaan semacam itu bisa timbul paham peragai dan bumi seperti Muhammad bin Abdullah. Tetapi memang intan itu bisa diselimuti tetapi tak bisa dicampur lebur dengan lumpur.

Makin riuh rendah bunyi sengketa dan sentak senjata disekelilingnya makin tenang teduh pikiran pemuka ini menghadapi sesuatu kesusahan atau permusahan. Lawan dan kawan sekarangpun terlampau banyak memajukan hal, bahwa Muhammad SAW seorang Nabi. Huru hara tiada bisa disangkal, tetapi tiadalah hormat saja yang memberi petunjuk, ilham dan kiasan kepada manusia. Mata yang nyalang, telinga yang nyaring, serta otak yang cemerlang di tengah-tengah masyarakat itu sendiri lebih lekas menyampaikan seseorang pada hakekat tentang pergaulan hidup manusia dari pada buku bertimbun-timbun diluar masyarakat. Pemuda Muhammad dilatih dan tersepuh oleh masyarakat Arab sendiri, undang langsung yang saling seteru dan gelap gelita itu.

Entah karena wajah parasnya, entah karena perawakan peragainya dengan langsung, entah karena cerdik kepandaiannya, entah karena semuanya, janda orang kaya Chadijah berusia 40 tahun akhirnya menjatuhkan hati dan kepercayaan pada pemuda 15 tahun lebih muda ini, sesudah berjasa bertahun-tahun. Bertahun-tahun Muhammad bin Abdullah melayani perniagaan buat janda Chadijah.

Sekaranglah baru diperoleh tempat dan tempoh mengheningkan pikiran membanding mengiaskan, mencocokkan, menyeluk belukan persoaan yang bertimbun-timbun jatuhnya pada pikiran yang acap terbang mealyang seperti terdapat dalam bangsa Arab, seperti tergambar dalam cerita 1001 malam itu. Tetapi Arab bukannya Hindu. Pikiran melayang itu selalu kembali ke tanah. Penerbangan bolak-balik di antara awang-awang dengan daratan itu bisa berhasil, bukanlah satu scientist seperti Newton tahu pendapat seperti Edison mesti bisa terbang dengan pikirannya ? Tetapi mereka terbang dengan benda yang nyata menurut undang-undang yang pasti pula.

Pada tempat yang sunyi senyap bermacam-macam di gunung diluar Mekah timbullah berkali-kali persoalan. Langit Arabia tiada diliputi awan pada malam itu, kalau diterangi oleh bulan dan bintangnya mesti menarik perhatian seseorang yang sungguh (serious, ernstig). Tak heran kalau pemuda Muhammad didesak oleh persoalan sebagai siapakah yang mengemudikan jalannya bulan dan jutaan bintang ini, yang tetap teratur ini. Siapakah yang menjatuhkan hujan yang memberi hidupnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia itu ? Apakah asalnya dan akhirnya manusia ini ? Tiadakah ada buat mempersatukan bangsaku, memperlihatkan seteru sengketa dan menerangi gelap gulita itu : mengangkat bangsaku jadi obor dunia ?

Newton dan Edison diberi pusaka oleh para scientist almarhum berupa perkakas dan teori berupa laboratorium dan undang perhitungan. Tetapi pemuda Muhammad hidup lebih dari 1300 tahun yang silam. Undang apakah tentang peredaran bintang atau perhubungan hawa uap dan hujan atau undang tentang kodrat, paduan dan pisahan jasmani dan rohani yang sudah diketahui ? Ahli Yunani pun belum sampai kesana, kalau ada paham yang miring kesana belum tentu paham itu sampai ke telinga Muhammad bin Abdullah.

Demikianlah Muhammad bin Abdullah mesti mencoba jawab dengan banding membanding pengalaman dan pengetahuannya pada mana jauh lebih tinggi, dari pada yang dikenal oleh bangsanya dikelilingnya.

Berkali-kali sudah perdagangan dilakukan (dengan karavan kalifah) ke Siria, barangkali juga sampai ke Mesir, ke Arabia Selatan tak mustahil sampai ke Mesopotamia. Cantumkanlah d imata pembaca seorang pemuda pendiam, mata sering melayang tinggi tetapi cepat bisa menaksir barang dan uang dimukannya, kening lebar dan tinggi menandakan kecondongan pikiran pada filsafat, tetapi juga menyaring apa yang praktis bisa dijalankan. Bibir yang menandakan kemauan keras dan juga mahir lancar kalau berkata, perawakan sedang, liat cepat tahan tangkas dan berkali-kali dalam perjalanan jauh berbahaya mendapat latihan dalam perjuangan. Penghilatan pada puluhan negara dan negeri biadab setengah adab dan pekerjaan tawar menawar dengan saudagar bermacam-macam bangsa dan bahasa; percakapan dengan lawan kawan, tua muda dalam usia pancaroba dipuluhan negara dan negeri itu, semua itu mendidik penyair dan pemimpin pembesar negara dan Nabi. Huruf dan sekolah tak bisa memberi bahan hidup semacam itu, tetapi bahan hidup semacam itu bsa memberi kesempatan pada Muhammad bin Abdullah menimbulkan huruf dan sekolah baru. Tidak semuanya orang bersekolah, bisa menjadi pemimpin Tuhan, tetapi buat seseorang pemimpin Tuhan tiadalah sekoah saja jalan buat menyampaikan maksudnya buat melaksanakan sifatnya.

Dunia Arab berpenduduk sedang ramainya terus menerus bertarung diantara suku dan sukunya, belum pernah dijajah dijahanamkan bangsa Asing, sedikit dikenal oleh dunia luarnya, sudah sampai ke tingkat persatuan satu bangsa satu bahasa dan satu pemimpin.

Tiadalah sekali mengherankan kalau Muhammad bin Abdullah tertarik oleh tuhan Esanya, Nabi Ibrahim, Musa dan Daud. Disini Tuhan itu lebih terang ke Esaan-nya pada pertaruangan lahir batin yang seru sengit yang mesti dijalankan dengan jasmani dan rohani yang mesti dipimpin oleh satu kemauan, maka kesangsian atas ke Esaannya Tuhan, pemimpin yang Maha Tahu dan Maha Tahu itu bisa menewaskan si petarung, Satu Tuhan itulah yang dibutuhkan oleh Arabia. Ketika Muhammad bin Abdullah yang buta huruf itu cuma sedikti tahu tentang agama Kristen, dikatakan oleh mereka bahwa Muhammad bin Abdullah mendapat pengetahuan itu dari mulutnya monikkan atau rahib dan setengah ulama Kristen. Mereka lupakan keterangan mereka sendiri bahwa Muhammad bin Abdullah sesudah memasuki gereja Katholik di Asia Barat ia berkata :"Ini cuma rumah berhala lain". Sekarang pun pada abad kedua puluh ini kalau orang memasuki gereja Katholik di Ruslan atau Rome, di Jerman atau di Indonesia, kalau orang melihat patungnya nabi Isa dan ibunya maryam yang dipuja dan tak mengherankan kalau orang netral mendapat kesan seperti kesan memasuki rumah berhala Hindu atau Budha. Buat Muhammad SAW Tuhan semata-mata rohani. Tuhan yang semata-mata rohani yang tiada dipatungkan lagi itu baru didapat sesudah Luther dan Calvin. Jadi sesudah lebih kurang 1500 tahun Nabi Isa lahir atau sesudah 900 tahun nabi Muhammad wafat. Dalam gereja Protestan kita tak lihat lagi patung yang seolah-olah mencoba mempengaruhi manusia dengan perasaan belaka; kasihan pada nabi Isa yang tergantung dipakukan tangannya pada palang gantungan itu oleh musuhnya Yahudi Jahanam itu. Jadi pada Protestant nyata pengaruh Islam buat seseorang yang tiada digelapi oleh dogma (kepercayaan) agamanya sendiri. dengan Yahudi Muhammad bin Abdullah menganggap Tuhan itu semata-mata rohani dan berada dimana-mana. Seseorang Muslim bisa bersambung langsung dengan Dia, tiada perlu memakai kasta Rabbi atau pendeta sebagai perantaraan atau sebagai tengkulak. Kelangsungan perhubungan manusia dan Tuhan itulah yang menjadi salah satu perkara buat Protestant umumnya, Cromwell dan tentaranya khususnya ketika berperang dengan partai Katholik dan raja-raja Katolik. Ini terjadi juga sesudah lebih kurang seribu enam ratus lima puluh (1650) tahun sesudah Nabi Isa wafat atau lebih kurang 1000 tahun sesudah Nabi Muhammad wafat. Pun disini nyata buat orang yang berpikiran objectief (tenang) pengaruhnya Islam atau Nasrani seperti juga pada Yahudi.

Jadi agamanya Nabi Isa dan Nabi Musa dijalankan pada masa perjalannya nabi Muhammad bin Abdullah di Asia Barat itu tiadalah diambil bulat mentah dengan tiada kritik semata-mata. Tidak saja Muhammad bin Adullah mengambil pokok besarnya agama Yahudi dan Kristen, tetapi pada kemudian harinya Yahudi dan Nasrani walaupun resminya tak mau mengaku terus terang mengambil sifat baru dari Islam. Demikianlah pada Muhammad SAW "ketunggalan" Tuhan itu ke Esaan Tuhan itu sampai ke puncak tak ada kesangsian seperti melekat pada agama Nasrani pada masa Muhamad SAW. Tentangan, terhadap agama Nasrani itu dikeraskan dan dijelaskan pada satu Juz yang pendek, tetapi dianggap terpenting sekali oleh Muslimin: bahwa Tuhan tunggal tak memperanakkan (Nabi Isa) dan tidak diperanakan (Qul huallahuahad …………….dsb).

Karena Muhammad SAW yang mendapatkan ilham tentangan ke Esaan Tuhan yang sempurna dan kesamaan manusia dan manusia lain terhadap Tuhan itu yang masih belum terang benderang buat semua bangsa Yahudi pada zaman nabi Ibrahim, lebih-lebih pada masa Nabi Sulaiman dan kemudiannya tiada terang pula pada Kristen, Katholik, Anatolia atau Rumawi di masa Muhammad SAW, tentulah semestinya Muhammad SAW Nabi yang terbesar dan terakhir but monotheisme, kalau Albert Einstein menyempurnakan teori relativity maka orang tiada berkeberatan menamainya teori itu teori Einstein. Adakah ke Esaan yang lebih pasti dan persamaan manusia dan manusia terhadap Tuhan lebih nyata dari pada agama Islamnya Muhammad SAW ? Juga Nabi Isa mengakui dirinya anak Tuhan dimuka Rabbi dan mengakui dirinya Rajanya Yahudi buat negara 1000 tahun dimuka Pilatus ? Adakah salahnya kalau Muhammad SAW mengaku pesuruh rasulnya tuhan yang terakhir dan terbesar ?

Kepercayaan pada Allah sebagai Tuhannya yang Esa Muhammad sebagai rasulnya dan persamaannya manusia terhadap Tuhan, belum cukup buat mempersatukan sekalian suku Arab yang saling seteru sengketa dan peperangan terus menerus itu. Malah hal itu menimbulkan ejekan kebencian dan caci makian terhadap Muhammad yang oleh penduduk Mekah diketahui sebagai anaknya Adullah dan Aminah. Sama siapakah mereka Arab yang galak ganas itu akan takut dan apakah dunianya berbuat baik di dunia ini kalau sesudah mati semua perkara perhubungan dengan manusia itu berhenti sama sekali? Malah lebih baik jadi orang kuat, kebal, piawai pendekar, berani, jahat, perampok atau apa saja asal bisa dapatkan harta buat kesenangan, perempuan buat permainan dan laki-laki buat hamba sahaya. Di dunia fana inilah mesti dicari puncak kesenangan dengan mendapatkan puncak kekayaan dan kekuasaan, baik dengan jalan halal atau haram. Demikian satu pemikir luhur merasa perlu keterusannya hidup. Tidak didunia fana ini melainkan pada dunia baka pada akhirat. Dengan begitu perlu pula ada jiwa terkhusus yang bertiang dalam jasmani kita. Jasmani dan jiwa itulah kelak sesudah hari kiamat akan dibangunkan kembali dari matinya. Jasmani dan jiwa yang hidup kembali itu akan ditimbang kebaikan dan keburukannya, yang berdosa akan masuk api neraka dan yang saleh akan masuk surga dikerubungi oleh nikmat tak terhingga banyaknya ragam dan lazatnya ditempat permai damai di antara puteri bidadari cantik molek dan manis bagus parasnya, ratusan ribuan banyaknya yang taat saleh, terutama yang mati sahid akan mendapat upah yang kekal dan luhur itu. Kalau kita peramati gurun pasir dan gunung batu Arabia, peramati wataknya Badui sekarang dan gambarkan orang Arab dan Badui semasa nabi Muhammad maka surganya orang Islam itu surga yang tidak sejuk dingin seperti Nirwananya Budha atau suci seperti surganya nabi Isa, maka surga Islam itu kuat seperti kutup Utara menarik jarum pedoman, sebelum sampai ke surga djanatunna’im itu, sesudah Muhammad SAW wafat. Arabia dan Badui yang sudah bersatu itu mendapatkan surga dunia di Siriya, Mesir, Spanyol, Iran dan India. Banjirnya para calon syahid yang mengalir dari Arabia. Tuhan itu ialah Allah dan Muhammad itu ialah Rasulnya. Tiada satu negara dan bangsapun beratus tahun bisa tahan. Begitu cocok surga Islam dan mati sahid dengan masyarakat dan peragai Arab.

Allah itu menurut Logika tentulah tiada bisa "Maha Kuasa" kalau tidak segenap umat manusia, segenap jam dan detik dapat menentukan nasib manusia. Segenap detik dia bisa perhatikan matahari berjalan, bintang dan bumi beredar, setiap detikpun tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia di matikan, sebaliknya manusia janganlah takut menghadapi mara bahaya apapun juga, kalau Tuhan Yang Maha Kuasa itu belum lagi memanggil. Di dunia Islam, hal ini dinamai takdir Tuhan. Di dunia barat hal ini dikenal sebagai pre-destination.

Calvin bapaknya Mahzap Protestant pada abad ke 17 juga mengemukakan hal ini. Oliver Cromwell dan tentaranya di Inggris diakui paling nekat tunggang oleh sejarah Barat, juga mengikut kepercayaan ini, pun disini tak bisa dibantah pengaruhnya Islam pada dunia Kristen.

Memang pemikir yang ulung consequent yang mengesakan Tuhan mesti mengesakan kekuasaannya Tuhan itu. Kalau seketika satu saja kekuasaan dikurangi dipindahkan pada anaknya seperti pada nabi Isa, (anaknya Tuhan) atau Maryam, dan sedetik saja kekuasaan si Atom itu bisa dipegang diluar Tuhan dengan tidak izinnya Tuhan, maka kekuasaan Tuhan itu tiada absolute sempurna lagi. Walaupun si Atom dalam sedetik kalau bisa dikurangi maka kesempurnaannya dikurangi pula bukan?

Itulah maka saya anggap bahwa Agama Monotheisme nabi Muhammad yang paling consequent terus lurus. Maka itulah sebabnya menurut logika maka Muhammad yang terbesar diantara nabinya monotheisme. Kaum Kristen boleh memajukan kedudukan, tingginya kaum ibu maka tingginya kasih sayang dan ta’at setia pada dasar sebagai pusaka dari Nabi Isa.

Tetapi pada masyarakat Arab dimana perempuan tak bisa diangkat ke tempat yang lebih tinggi dari yang dilakukan oleh Muhammad SAW. Tak sedikit ahli sejarah Barat yang mengakui hal ini kalau lama dibelakang wafatnya Nabi Muhammad perempuan dikudungi, dibungkus atau ditimbun-timbunkan ke dalam haramnya Sultan atau Muslim kaya raya buat melepaskan nafsu lelaki, maka itu adalah berhubungan rapat pula dengan keadaan masyarakat Arab. Perkara kasih sayang Muhammad SAW juga seperti nabi Isa berhak mempunyai. Nabi Muhammad berada dalam masyarakat sebesarnya, sebagai pemimpin propaganda, pertarungan peperangan dan masyarakat.

Sedangkan nabi Isa tinggal melayang diatas langit propaganda saja tak mengatur peperangan ekonomi, politik ataupun sosial. Sebab itu lebih gampang memegang dasar kasih sayang itu.

Tetapi Muhammad dengan memaafkan yang dahulunya mau menewaskan jiwanya, mengubah musuhnya itu menjadi pengikut, hambanya dianggapnya saudara kandungnya, bukankah pula kaum Kristen sendiri yang mendapat kedudukan tinggi sekali dibawah itu dengan kaum Nasrani dibawah Rumawi yang berkebudayaan tertinggi pada zaman purbakala itu. Begitu juga dengan teguh tegap memegang dasar itu nabi Muhammad tiada ketinggalan. Ketika seluruh Mekah memusuhi, mengancam jiwanya, dan dalam keadaan begitu menewaskan harta dan pangkat kalau memperhatikan propagandannya nabi Muhammad bersabda: Walaupun di sebelah kiri ada bintang dan di sebelah kanan ada matahari yang melarang, saya mesti meneruskah suruhan Tuhan.

Tetapi semua perkara ini yakni kedudukan kaum isteri dalam masyarakat, belas kasihan kepada semua manusia, taat setia pada dasar sendiri itu, ada lebih rapat berhubungan dengan masyarakat politik ekonomi, pesawat dan iklim dari pada dengan kepercayaan semata-mata, hal ini adalah diluar maksud tulisan ini. Yang dimajukan disini ialah perkara kepercayaan pada ke Tuhanan umumnya dan ke Esaan Tuhan itu terkhususnya. Sekali lagi disoalkan disini, bahwa pada Islam ke Esaan itu tentangan banyak dan sifatnya sampai ke puncak.

Sebab itu pula maka pertentangan dengan ilmu pasti umumnya, madilog terkhususnya sampai ke puncak pula. Pada permulaan buku ini perkara itu sudah dilaksanakan Maha Keesaan Dewa Rah. Pembaca dipersilahkan membaca bagian itu sekali lagi. Sarinya tulisan itu kalau diperhubungkan dengan keesaan Tuhan ialah kalau seperseribu detik saja Yang Maha Kuasa itu membatalkan bumi kita ini menarik matahari dan meletus serta hancur luluhlah kita ke jurusan matahari yang panas terik itu. Kalau sekiranya seperseribu satu detik saja Yang Maha Kuasa itu bisa membatalkan undang tolak tariknya sekalian bintang matahari dan bumi di Alam Raya ini seperti semua kereta diperhentikan dalam satu kota pada satu saat, maka kita manusia, hewan dan benda yang sekarang lekat pada bumi ini akan tarikan bumi akan terpelanting ke awang-awang terus menerus terbangnya.

Jadi menurut Madilog Yang Maha Kuasa itulah bisa lebih kuasa dari undang alam. Selama Alam ada dan selama Alam Raya itu ada, selama itulah pula undangnya Alam Raya itu berlaku. Menurut undang Alam Raya itu bendanya itulah yang mengandung kodrat dan menurut undang itulah caranya benda itu bergerak berpadu, berpisah, menolak dan menarik dan sebagainya. Kodrat dan undangnya yang berpisah sendirinya tentulah dikenal oleh ilmu bukti. Berhubungan dengan ini maka Yang Maha Kuasa jiwa terpisah dari jasmani, surga atau neraka yang diluar Alam Raya ini tiadalah dikenal oleh ilmu bukti, semuanya ini adalah diluar daerahnya Madilog. Semuanya itu jatuh ke arah kepercayaan semata-mata. Ada atau tidaknya itu pada tingkat terakhir ditentukan oleh kecondongan persamaan masing-masing orang. Tiap-tiap manusia itu adalah merdeka menentukannya dalam kalbu sanubarinya sendiri. Dalam hal ini saya mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesahan kebebasan yang saya tuntut buat diri saya sendiri buat menentukan paham yang saya junjung.


Senin, 20 Oktober 2008

Kejawen

Tulisan ini hasil dari browsing dari www.jawapalace.com
bukan hasil tulisan saya sendiri
saya tidak punya hak karya atas tulisan ini

Pengeran
Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendakNYA
Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan,yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti,yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gusti Allah.

Tan samar pamoring Suksma
Sinuksmaya winahya ing ngasepi
sinimpen ing telenging kalbu
pambukaning warana
tarlen saking liyep layaping aluyup
pindha pesating sumpena
sumusuping rasa jati
Upaya manusia untuk memahami keberadaannya diantara semua makhluk yang tergelar di jagad raya, yang notabene adalah makhluk, telah membawa manusia dalam perjalanan pengembaraan yang tak pernah berhenti. Pertanyaan tentang dari mana dan mau kemana (sangkan paraning dumadi) perjalanan semua makhluk terus menggelinding dari jaman ke jaman sejak adanya " ada ". Pertanyaan yang amat sederhana tetapi substansiil tersebut, ternyata mendapatkan jawaban yang justru merupakan pertanyaan-pertanyaan baru dan sangat beragam, bergantung dari kualitas sang penanya.

Perkembangan kecerdasan dan kesadaran manusia telah membentuk budaya pencarian yang tiada henti. Apalagi setelah muncul kesadaran religius yang mempertanyakan " apa atau siapa yang membuat ada " semakin menggiring manusia ke dalam petualangan meraba-raba di kegelapan rimba raya pengetahuan.


Di dalam kegelapan itulah benturan demi benturan akibat perbedaan pemahaman terjadi. Benturan paling purba berawal dari kisah Adam dan Hawa yang melemparkan mereka dari surga. Benturan terkadang teramat dahsyat sehingga " perlu " genangan darah dan air mata, yang dipelopori oleh Habil dan Qabil. Kesemuanya bermuara pada kata sakti yang bernama " kebenaran " yang sungguh sangat abstrak dan absurd. Tetapi bukankah hidup dan kehidupan ini abstrak dan absurd ? sehingga tak terjabarkan oleh akal-pikir yang paling canggih sekalipun.

Ketika akal-pikir tak lagi mampu menjawab pertanyaan diatas, manusia mulai menggali jawaban dari " rasa " sampai akhirnya manusia merasa seolah-olah telah menemukan apa yang dicari. Tetapi ketika pengembaraan rasa tersebut sampai pada titik simpang, dimana di satu sisi muncul kebutuhan untuk melembagakan hasil " temuan rasa " tersebut dan di sisi lain menolak pelembagaan, kembali terjadi benturan-benturan yang sesungguhnya sangat tidak perlu terjadi. Sesuatu yang tidak akan pernah diketahui, baik dengan akal-pikir dan rasa, bahkan intuisi sekalipun. Sebab " dia " adalah Sang Maha Gaib. Rumusan apapun tentang " dia " seperti apa yang telah dilakukan oleh manusia pasti akan menemui kegagalan. Karena " dia " tidak pernah merumuskan " dirinya " secara kongkrit, kecuali dalam bentuk simbol-simbol dan lambang-lambang yang metaforik.

Perjalanan panjang manusia yang menempuh jarak jutaan tahun untuk mendapatkan jawaban pasti tentang " dia " menjadi amat bervariasi. Tetapi kepastian itu sendiri tidak pernah dijumpai. Sehingga sebagian manusia menjadi putus asa, karena perjalanan pencariannya tak ubahnya seperti tragedi Syshipus, sebuah perjalanan kehilangan.

Sementara untuk sebagian manusia lainnya, semangat pencariannya justru semakin menggebu. Mereka tidak pernah patah, karena mereka tidak terpukau oleh hasil akhir. Telah muncul kesadaran baru pada mereka, bahwa yang terpenting adalah proses pencarian itu sendiri. Bertemu atau tidak bukan lagi menjadi pangkal kerisauan, karena mereka menyadari, bahwa keputusan tidak berada di tangan manusia.

Nah mereka inilah para pejalan spiritual, sang pencari sejati yang selalu haus pada pengalaman empiris di belantara pengetahuan tentang hal-hal yang abstrak, absurd dan gaib. Dan mereka adalah kita.

Syarat utama bagi para pejalan spiritual adalah kebersediaannya dan kemampuannya menghilangkan atau menyimpan untuk sementara pemahaman dogmatis yang telah dimilikinya, dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati dan pikiran untuk merambah jagad ilmu pengetahuan ( kawruh ) non-ragawi. Ilmu yang gawat dan wingit, karena sifatnya sangat mempribadi dan tidak bisa diseragamkan dengan idiom-idiom yang ada, dimana idiom-idiom itu hanya bisa dipergunakan sebagai rambu penunjuk yang kebenarannya juga sangat relative.

Pengalaman spiritual adalah pengalaman yang sangat unik dan sangat individual sifatnya, sehingga kaidah-kaidah yang paling dogmatispun tak akan mampu memberikan hasil yang sama bagi individu yang berbeda. Perjalanan spiritual adalah proses panning upaya manusia untuk pencapaian tataran-kahanan ( strata, maqom ) pembebasan, yaitu kemerdekaan untuk menjadi merdeka ( freedom to be free ) dari segala bentuk keterikatan dan kemelekatan serta kepemilikan yang membelenggu, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, seprti dijalani oleh para penuntun spiritual dimasa lampau.

Jika persyaratan diatas sudah disepakati, barulah terasa ada perlunya perjalanan wisata spiritual yang baru saja kita lakukan. Jika terjadi pengalaman mistis bagi satu atau beberapa orang, harus disikapi sebagai pengalaman yang bersifat " sangat individual " yang tidak bisa diseragamkan.

Yang lama, kita pahami, Yang kini kita mengerti, Kedepan kita sikapi

KAUTAMANING LAKU
1. Wong eling ing ngelmu sarak dalil sinung kamurahaning Pangeran.
2. Wong amrih rahayuning sesaminira, sinung ayating Pangeran.
3. Angrawuhana ngelmu gaib, nanging aja tingal ngelmu sarak, iku paraboting urip kang utama.
4. Aja kurang pamariksanira lan den agung pangapunira.
5. Agawe kabecikan marang sesaminira tumitah, agawea sukaning manahe sesamaning jalma.
6. Aja duwe rumangsa bener sarta becik, rumangsa ala sarta luput, den agung, panalangsanira ing Pangeran Kang Maha Mulya, lamun sira ngrasa bener lawan becik, ginantungan bebenduning Pangeran.
7. Angenakena sarira, angayem-ayema nalarira, aja anggrangsang samubarang kang sinedya, den prayitna barang karya.
8. Elinga marang Kang Murbeng Jagad, aja pegat rina lan wengi.
9. Atapaa geniara, tegese den teguh yen krungu ujar ala.
10. Atapaa banyuara, tegese ngeli, basa ngeli iku nurut saujaring liyan, datan nyulayani.
11. Tapa ngluwat, tegese mendhem atine aja ngatonake kabecikane dhewe.
12. Aprang Sabilillah, tegese prang sabil iku, sajroning jajanira priyangga ana prang Bratayudha, prang ati ala lan ati becik

http://www.jawapalace.org

sing sapa reka arsa anglakoni

amutiha lawan amawasa

patangpuluh dina wae

lan tangi wektu subuh lan den sabar sukur ing ati

Isya ALLAH tinekan sak karsaniku,

nyawabi nakrakyatira.

saking sawab ing ilmu pangiket mami,

duk uneng Kalijaga

Mitologi

Pasaran dan Hari
Sejak dahulu orang Jawa telah mempunyai “perhitungan“( petung Jawa ) tentang pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Perhitungan itu meliputi baik buruknya pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Khusus tentang hari dan pasaran terdapat di dalam mitologi sebagai berikut :
1.Batara Surya ( Dewa Matahari ) turun ke bumi menjelma menjadi Brahmana Raddhi di gunung tasik. Ia menggubah hitungan yang disebut Pancawara ( lima bilangan ) yang sekarang disebut Pasaran yakni : Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon nama kunonya : Manis, Pethak ( an ) Abrit ( an ) Jene ( an ) Cemeng ( an ), kasih. ( Ranggowarsito R.NG.I : 228 )


2.Kemudian Brahmana Raddhi diboyong dijadikan penasehat Prabu Selacala di Gilingwesi sang Brahmana membuat sesaji, yakni sajian untuk dewa-dewa selama 7 hari berturut-turut dan tiap kali habis sesaji, hari itu diberinya nama sebagai berikut

a. Sesaji Emas, yang dipuja Matahari. Hari itu diberinya nama Radite, nama sekarang : Ahad.

b. Sesaji Perak, yang dipuja bulan. Hari itu diberinya nama : Soma, nama sekarang : Senen.

c. Sesaji Gangsa ( bahan membuat gamelan, perunggu ) yang dipuja api, hari itu diberinya nama : Anggara, nama sekarang Selasa.

d. Sesaji Besi, yang dipuja bumi, hari itu diberinya nama : buda, nama sekarang : Rebo.

e. Sesaji Perunggu, yang dipuja petir. Hari itu diberinya nama : Respati, nama sekarang : Kemis.

f. Sesaji Tembaga, yang dipuja Air. Hari itu diberinya nama : Sukra, nama sekarang : Jumat

g. Sesaji Timah, yang dipuja Angin. Hari itu diberinya nama : Saniscara disebut pula : Tumpak, nama sekarang : Sabtu.

Nama sekarang hari-hari tersebut adalah nama hari-hari dalam Kalender Sultan Agung, yang berasal dari kata-kata Arab ( Akhad, Isnain, Tslasa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabt ) nama-nama sekarang itu dipakai sejak pergantian Kalender Jawa – Asli yang disebut Saka menjadi kalender Jawa / Sultan Agung yang nama ilmiahnya Anno Javanico ( AJ ). Pergantian kalender itu mulai 1 sura tahun Alip 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042 = Kalender masehi 8 Juli 1633. Itu hasil perpaduan agama Islam dan kebudayaan Jawa.

Angka tahun AJ itu meneruskan angka tahun saka yang waktu itu sampai tahun 1554, sejak itu tahun saka tidak dipakai lagi di Jawa, tetapi hingga kini masih digunakan di Bali. Rangkaian kalender saka seperti : Nawawara ( hitungan 9 atau pedewaan ) Paringkelan ( kelemahan makhluk ) Wuku ( 30 macam a’7 hati, satu siklus 210 hari ) dll.

Dipadukan dengan kalender Sultan Agung ( AJ ) tersebut, keseluruhan merupakan petungan ( perhitungan ) Jawa yang dicatat dalam Primbon. Dikalangan suku Jawa, sekalipun di lingkungan kaum terpelajar, tidak sedikit yang hingga kini masih menggunakannya ( baca : mempercayai ) primbon.
Sadulur Papat Kalima Pancer

Hitungan Pasaran yang berjumlah lima itu menurut kepercayaan Jawa adalah sejalan dengan ajaran “ Sedulur papat, kalima pancer “ empat saudara sekelahiran, kelimanya pusat.

Ajaran ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau jasad lahir bersama empat unsur atau roh yang berasal dari, tanah, air, api dan udara. Empat unsur itu masing-masing mempunyai tempat di kiblat empat. Faktor yang kelima bertempat di pusat, yakni di tengah.

Lima tempat itu adalah juga tempat lima pasaran, maka persamaan tempat pasaran dan empat unsur dan kelimanya pusat itu adalah sebagai berikut :

1. Pasaran Legi bertempat di timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar ( aura ) putih.

2. Pasaran Paing bertempat di selatan, salah satu tempat dengan unsur Api, memancarkan sinar merah.

3. Pasaran Pon bertempat di barat, satu temapt dengan unsur air, memancarakan sinar kuning.

4. Pasaran Wage bertempat di utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam

5. Kelima di pusat atau di tengah, adalah tempat Sukma atau Jiwa, memancarkan sinar manca warna ( bermacam-macam )

Dari ajaran sadulur papat, kalima pancer dapat diketahui betapa pentingnya Pasaran Kliwon yang tempatnya ditengah atau pusat ( sentrum ) tengah atau pusat itu tempat jiwa atau sukma yang memancarkan daya – perbawa atau pengaruh kepada “ Sadulu Papat atau Empat Saudara ( unsur ) sekelahiran.

Satu peredaran “ Keblat papat kalima pancer “ itu dimulai dari timur berjalan sesuai dengan perputaran jam dan berakhir di tengah ( pusat ) Peta dari jalannya dapat digambarkan sebagai berikut : (bersambung)

menep ing rahsa sateleng kalbu

amatek cipta ambasuh sukma

sumunaring raga ambudidaya

Nora iguhing palena pikir

imaningsun anuju dhat luhur

Nembah asaling muasal

oncat hawa lereming asepi


Kronik Orang Jawa
Orang Jawa yang tradisional tidak dapat memisahkan mitos dalam kehidupan mereka ,oleh sebab itu, kita telaah dan akan coba menguraikan tentang orang jawa dan latar belakang yang ikut mewarnai pemikiran mereka dalam menafsirkan kehidupan ini.

Orang Jawa

Yang dimaksud orang Jawa oleh Magnis-Suseno adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah da timur pulau Jawa.


Berdasarkan golongan sosial, menurut sosiolog Koentjaraningrat, orang Jawa diklasifikasi menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Wong cilik (orang kecil) terdiri dari petani dan mereka yang berpendapatan rendah.

2. Kaum Priyayi terdiri dari pegawai dan orang-orang intelektual

3. Kaum Ningrat gaya hidupnya tidak jauh dari kaum priyayi

Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga dibedakan atas dasar keagamaan dalam dua kelompok yaitu:

1. Jawa Kejawen yang sering disebut abangan yang dalam kesadaran dan cara hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam. Kaum priyayi tradisional hampir seluruhnya dianggap Jawa Kejawen, walaupun mereka secara resmi mengaku Islam

2. Santri yang memahami dirinya sebagai Islam atau orientasinya yang kuat terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam

Alam pikiran dan pandangan hidup orang Jawa
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Pusat yang dimakusd disini dalam pengertian ini adalah yang dapat memebrikan penghidupan, kesimbangan, dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Kawula lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara total selaku kawula (hamba)terhadap Gustinya(SangPencipta).


Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan bukan muslim santri yaitu yang mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan asli mengenai alam kodrati dan alam adikodrati.

Niels Mulder mengatakan bahwa pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.

Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.

Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.

Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural da penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.

Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas-dunia manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.

Sikap dan pandangan tehadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam mengahdapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.

Bagi orang Jawa, pusat di dunia ada pada raja dan karaton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi raja adalah pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan dengan karaton sebagai kediaman raja . karaton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan

Kegiatan religius orang Jawa Kejawen

Menurut kamus bahasa Inggris istilah kejawen adalah Javanism, Javaneseness; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam.

Niels Mulder memperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu-Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya yang anthropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa. Singkatnya Javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara berpikir Javanisme.

Sebagian besar dari masyarakat Jawa adalah Jawa Kejawen atau Islam abangan, dalam hal ini mereka tidak menjalani kewajiban-kewajiban agama Islam secara utuh misalnya tidak melakukan sembayang lima waktu, tidak ke mesjid dan ada juga yang tidak berpuasa di saat bulan Ramadhan. Dasar pandangan mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan dalam segala seginya. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya jadi mereka harus menaggung kesulitanhidupnya dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek moyang yang seperti Tuhan sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman

Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa, dan bahwa kejawen ini sering sekali diwakili yang paling baik oleh golongan elite priyayi lama dan keturunan-keturunannya yang menegaskan adalah bahwa kesadaran akan budaya sendiri merupakan gejala yang tersebar luas dikalangan orang Jawa. Kesadaran akan budaya ini sering kali menjadi sumber kebanggaan dan identitas kultural. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa sevara mendalam sebagai kejawen.

Pemahan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan.

Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat. Orang Jawa kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang cukup penting. Dalam kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa dianggap sebagai orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan kehidupan yang ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa nafsu sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa kejawen yang lainnya adalah meditasi atau semedi. Menurut Koentjaraningrat, meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di gunung, makam keramat, ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada umumnya orang melakukan meditasi adalah untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan.

Spiritualitas Jawa

Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).

Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi, tapa, dan pasa (berpuasa).

Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.

Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:

Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)

Artinya:

Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).

Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat / ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah / laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa (berpuasa).

Puasa dalam Masyarakat Jawa

Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa (puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena pelaksanaan tapa (hampir) selalu dibarengi pasa.

Di antara macam-macam tapa / pasa, beberapa dituliskan di bawah ini:
Jenis:
Metode:

pasa di bulan pasa (ramadhan)
sama dengan puasa wajib dalam bulan ramadhan. Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci rambut

tapa mutih (a)
hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut

tapa mutih (b)
berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari

tapa ngrawat
hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam

tapa pati geni
berpantang makan makanan yang dimasak memakai api (geni) selama sehari-semalam

tapa ngebleng
tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam

tapa ngrame
siap berkorban /menolong siapa saja dan kapan saja

tapa ngéli
menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)

tapa mendem
menyembunyikan diri (mendem)

tapa kungkum
menenggelamkan diri dalam air

tapa nggantung
menggantung di pohon

dan masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa ngidang, tapa brata, dll.

(Diadaptasi dari wawancara dengan Dr. Purwadi)



Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa. Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf / mistik. Sehingga penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan mengesampingkan akal / nalar. Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu jenis puasa, melainkan secara umum

Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:

1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik.

Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.

2. Puasa sebagai sarana penguatan batin

Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.

Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar” (Nasr, 2000)

3. Puasa sebagai ibadah.

Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.


KEJAWEN

Mari kita mengutip satu tembang Jawa
Tak uwisi gunem iki saya akhiri pembicaraan ini

Niyatku mung aweh wikan saya hanya ingin memberi tahu

Kabatinan akeh lire kabatinan banyak macamnya

Lan gawat ka liwat-liwat dan artinya sangat gawat

Mulo dipun prayitno maka itu berhati-hatilah

Ojo keliru pamilihmu Jangan kamu salah pilih

Lamun mardi kebatinan kalau belajar kebatinan






Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh) kepada mereka yang ingin mempelajari kabatinan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti(Pencipta) ( jumbuhing kawula Gusti )/pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.

Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti – hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti, kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai.

Dalam budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu suatu faham yang menggunakan lambang atau simbol untuk membimbing pemikiran manusia kearah pemahaman terhadap suatu hal secara lebih dalam.Manusia mempergunakan simbol sebagai media penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia itu selanjutnya. Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari Tuhan, yang diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu ditelaah dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap yang berberda-beda.
Biasanya sebutan orang Jawa adalah orang yang hidup di wilayah sebelah timur sungai Citanduy dan Cilosari. Bukan berarti wilayah di sebelah barat-nya bukan wilayah pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya “saiyeg saekoproyo “ yang berarti sekata satu tujuan.

Kisah suku Jawa diawali dengan kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan tarikh Caka.

Kejawen adalah faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkebang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.

Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlhilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.

Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya sangkakala.

Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)

Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.

1. Sembah Raga

Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:

Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton 34

Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.

Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.

2. Sembah Cipta (Kalbu)

Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 terdahulu dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut:

Samengkon sembah kalbu/ yen lumintu uga dadi laku/ laku agung kang kagungan narapati/ patitis teteking kawruh/ meruhi marang kang momong. 35

Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati 36 , kalbu berarti hati 37 , maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan.

Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).

Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat. Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin… 38

Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.

3. Sembah Jiwa

Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) 39 dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:

Samengko kang tinutur/ Sembah katri kang sayekti katur/ Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari/ Arahen dipun kecakup/ Sembahing jiwa sutengong 40

Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalann hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut:

Sayekti luwih perlu/ ingaranan pepuntoning laku/ Kalakuan kang tumrap bangsaning batin/ Sucine lan awas emut/ Mring alaming lama amota.41

Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.

Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:

"Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono."

4. Sembah Rasa

Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.

Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).

Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.

Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:

Semongko ingsun tutur/ gantya sembah lingkang kaping catur/ sembah rasa karasa wosing dumadi/ dadi wus tanpa tuduh/ mung kalawan kasing batos.42

Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.

Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.

Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut:

Iku luwih banget gawat neki/ ing rarasantang keneng rinasa/ tan kena ginurokake/ yeku yayi dan rampung/ eneng onengira kang ening/ sungapan ing lautan/ tanpa tepinipun/ pelayaran ing kesidan/ aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya.43

Tulisan ini didownload dari:
http://koir.multiply.com/journal/item/11